Presisi

Ku lihat Bang Arsyad duduk terpekur di beranda rumahnya, wajah bujang lapuk itu begitu durja, matanya menatap lurus menerawang, kosong. Hal apakah yang menggundah gulanakan hatinya, aku jadi nyinyir ingin tahu karna tak pernah sebelumnya ku lihat Bang Arsyad menekuk wajahnya seperti ini, begitu kusut dan dalam.dia adalah laki-laki penebar senyum, meski di usia menjelang 40 tahun belum ada tanda-tanda pasangan hidup akan menghampirinya, tapi Bang Arsyad tak pernah risau, tak ambil pusing.

“Aku percaya manusia diciptakan berpasangan Im….pasti ada wanita untukku diluar sana masih belum ditampakkan oleh Tuhan, mungkin Tuhan ingin tahu seberapa besar usahaku menemukan wanita itu”. Kalimat itu yang selalu dikatakannya padaku, jika aku sudah mulai menyinggung tentang jodoh. Bang Arsyad adalah laki-laki baik yang selalu berprasangka baik, dengki tak pernah ada dalam buku besarnya, meski teman-teman seangkatannya sering mencibir akan status bujang lapuknya, Bang Arsyad hanya menanggapinya dengan tersenyum simpul.

“Ada apa gerangan dengan Abangku yang ganteng ini, pagi-pagi sudah bermuram durja” aku menepuk pundaknya dan mengambil tempat disisinya, dia tersenyum dan melirikku sekilas.
“Ah….ku kira siapa kau Im, membuatku kaget saja” ujarnya. Lalu dia mengubah posisi duduknya dengan bersila, samar kulihat dia menarik nafas panjang dan dalam, kalau sudah begini pasti urusannya berat. Aku diam tak berani menanyakan apa-apa lagi, tapi aku tau perlahan dia pasti akan menceritakannya padaku. Karna hanya aku yang selama ini menjadi tempat keluh kesahnya, dan aku adalah satu-satunya orang yang tak pernah mau repot mengrecokinya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang nasibnya yang sampai saat ini dijauhi oleh asmara, topik tabu untuk dibahas dalam kesepakatan yang tak tertulis.

“Im…..kau adalah teman terbaikku, hanya kau yang paling mengerti tentang aku, selain Emak tentunya. Bisakah kau dipercaya untuk menyimpan sebuah tabir?” Bang Arsyad menatapku sungguh-sungguh, sinar matanya menginginkan jawaban pasti dan meyakinkan.
“Menurut Abang….?”, ini retorika teman, dan kutahu dia benci kalau aku sudah begini.
“Aku sudah tak kuasa menanggung perasaan ini sendirian Im….aku perlu teman untuk kuajak bicara, tak perlulah tanggapan atau nasihat, asal dia mau mendengar keluhku itu sudah cukup” aku manggut-manggut sambil meraba janggutku yang hanya ditumbuhi beberapa helai bulu saja.

“Aku jatuh cinta Im…” aku terperanjat, hamper saja terjengkang dari tempat dudukku, untung aku cepat bisa menyeimbangkannya kembali, kalau tidak, bisa-bisa jatuh tertungging aku. Aku melongo menatapnya, sejenak aku tak mampu berkata-kata, sungguh. Bertahun-tahun aku berteman dengannya, baru sekali ini aku mendengar dia mengucapkan kalimat keramat itu.
“Ah….tak usahlah kau mendramatisir ekspresimu, wajarkan kalau aku jatuh cinta” pipi Bang Arsyad bersemu merah bak buah jambu air dibelakang rumah.

“Aih….siapakah wanita yang beruntung itu, yang bisa membuat Abangku ini mabuk kepayang!!” aku menggodanya, maka kian memerahlah wajahnya mirip kepiting rebus.
“Dia wanita yang sangat manis Im…lebih manis dari seratus batang tebu, dia lembut melebihi adonan kue bikang, dia menawan seumpama merak lagi birahi, ah….tak cukup kataku untuk melukiskan pesona kekasihku”, mata Bang Arsyad berbinar-binar seperti kejora menggantung, senyumnya merekah lebar seakan ada benang tak tersamar yang menarik kedua ujung bibirnya. Tak perlulah cerdik cendikia atau ahli metafisika untuk bisa menyimpulkan bahwa panah cupid telah tertancap di dada Bang Arsyad..

“Lalu apa yang Abang risaukan, bukankah gayung tlah bersambut, tak baik menyembunyikan berita bahagia…” demi mendengar kataku, tak dinyana bintang kejora itu meredup, dan senyum itu tergulung. Aku merasa bersalah, aku bimbang untuk bertanya, adakah khilaf dalam pertanyaanku sehingga membuat Bang Arsyad menjadi kuyu.

“Masalahnya Im……wanita itu telah bersuami” ini kejutan kedua kali yang kutrima dari Bang Arsyad.

“Mulanya semua begitu terasa indah, manis dan merona, dalam empat purnama ini kita menjalin kasih, mencuri-curi waktu untuk bertemu. Tak kuhiraukan statusnya, ku abaikan sgala kemungkinan terburuk akan terpergok suaminya, karna aku begitu kasmaran dengan wanita itu Im….”

Teman, kalau berbicara tentang perasaan aku lebih baik diam, karna aku tahu terkadang cinta bisa begitu membutakan, menulikan, memati rasakan, sehingga seseorang mampu melakukan hal-hal yang tak masuk logika sekalipun.

“Lalu Im, aku mulai cemburu dan memelihara perasaan benci dan sesal. Mengapa dia jadi milik orang lain bukan milikku, mengapa baru sekarang Tuhan mempertemukan kita, sesak dadaku rasanya Im…jika ketika malam tiba dan kubayangkan yang ada disampingnya adalah laki-laki lain, bukan aku. Aku benci perasaan ini, ingin rasanya ku lari dan berteriak, namun saat senyumnya membayang dipelupuk mata, maka luluhlah hatiku, dan aku kembali merindu…..” terang sekali Bang Arsyad merintih.

Dan aku bersimpati pada kepedihan hati Bang Arsyad, betapa tidak….bertahun-tahun dia setia dengan kesendiriannya, menanti-nanti cinta dating tuk menyapa. Dia tulikan telinganya saat teman-temannya mencibir, tak dia hiraukan repetan Emaknya yang kebelet punya mantu, diabaikannya sgala kesepian hatinya bila malam memeluk gemintang, semua karna dia percaya ada seorang wanita yang Tuhan simpan untuknya diluar sana, dan bila waktunya dia akan menyambutnya dengan senyum terindah.

Namun rupanya nasib masih belum lelah jua mengujinya, saat asmara malu-malu menyapa dan dengan pongahnya meniup-niup helium kedalam hati laki-laki malang itu sehingga melambungkannya, namun diwaktu yang sama diam-diam asmarapun dengan lihai menyelipkan sembilu yang tak terkira pedihnya, dan laki-laki itupun merana.
“Lalu, apa yang akan Abang lakukan selanjutnya?” tanyaku

“Entahlah, pening aku dibuatnya, tak kusangka cinta itu begitu rumit dan memedihkan, ampuuunnnn…..tak kuasa aku menanggungnya Im. Aku mencintai wanita itu dengan rasa dan cara yang tak mampu aku jelaskan”.

Aku termangu membisu , dan Bang Arsyad semakin tenggelam dalam kepedihannya. Ada rasa bersalah terbersit dihatiku karena aku tak bisa memberi jalan keluar atas permasalahan asmara Bang Arsyad. Namun teman, sudah pernah kubilang cinta itu perhitungannya lebih rumit dari harga cabai, diaplikasikan dengan rumus apapun tak mempan, dan aku sendiri masih meraba-raba untuk masalah hati seperti ini.

Leave a comment