Cinta Monyet dan Gorila

Hidup adalah sekarang dan masa depan. Masa lalu? Ah, itu hanya serbuk-serbuk luka termanis penyedap rasa di masa mendatang. Seperti sobekan kisah cinta yang berserakan. Juga puzzle-puzzle yang tak tersusun rapi dan membuat hidup akhirnya tak berbentuk.

Cinta bagai debu, terbang diterbangkan angin yang selalu sibuk berjalan-jalan dan tersesat di hati yang gersang. Lain lagi bila langit biru mulai menghitam, cinta adalah sunyi, tanpa bunyi. Yang selalu terdengar hanya nada-nada datar dan sumbang bergema lemah di langit-langit kamar hatiku.

Pada akhirnya, cinta masih seputar kisah tentangmu yang sekarang berjalan memunggungiku dengan wajah yang sama, ceria seperti biasa, tanpa dosa. Adakah aku di ingatanmu? Tidak ada? Sedikit saja?
Ah, aku masih mengingatmu dengan jelas. Kamu salah satu murid dengan catatan merah kebanggaanmu, mie ayam depan sekolah kesukaanmu, atau peringkatmu yang jauh di bawahku, juga suara sumbangmu yang tak henti menggetarkan gendang telingaku sejak beberapa tahun lalu, dan semua keburukanmu masih terpahat tepat di hatiku. Ah, memangnya apa lebihmu? Hanya kekuranganmu yang membuatku bertahun mengenangmu.

Cinta monyet dan gorila bukan hanya tumbuh subur di masa SMA, bahkan paragraf utama cerita ini berada di masa remaja sebelum aku beranjak dewasa, masa SMP. Konyol memang, tapi senangnya luar biasa dan sakitnya pun dari luar biasa.

Dia adalah seorang teman yang sudah sangat mahir dalam dunia percintaan, mengatakan tiga kata singkat yang memaksaku untuk tergagap tak kuasa menolak. “Aku suka kamu.” Untuk perrtama kalinya aku mendengar kalimat itu. Padahal yang kudapat darinya hanya sebatang coklat yang harganya tak lebih dari seribu rupiah. Betapa murahnya cinta itu. Bahkan kini ia hanyalah dongeng pengantar tidur yang memilukan. Tentu saja dia adalah segalanya. Bahagiaku juga sakitku. Paket komplet kisah cinta masa lalu.

Entah apa kelebihannya atau apa yang kusuka darinya. Ia sama sekali tidak tampan, pintar juga tidak, tidak juga kaya, romantis apa lagi. Hal-hal yang kusukai justru tidak ia sukai. Begitu pula sebaliknya. Aku sampai tak tahu persamaan apa yang kami miliki.

Saat itu saat kami sedang duduk tepat di teras asramaku, ia membawa gitar milik temannya. Tentu saja ia tak bisa memainkannya. Sudah kubilang ia tak ada lebihnya. Ia baru akan mulai belajar dengan gitar itu. Aku hanya tertawa saat ia dengan rasa percaya diri tingkat tingginya mengatakan akan menyanyikan lagu yang mengungkapkan perasaannya padaku. Hari itu adalah hari kedua dalam diary hatiku.
Yang menjadi sound track drama ini hanyalah lagu kecil yang begitu besar maknanya bagiku. Ini adalah lagu luar biasa yang ia nyanyikan untukku. Ia memetik gitar sembarang nada, kemudian menyanyikan lagu itu.

Satu-satu aku sayang kamu
Dua-dua juga sayang kamu
Tiga-tiga sayang sama kamu
Satu dua tiga kamu semuanya
Bayangkan bagaimana suaranya yang terjal dan berliku. Ekspresi wajahnya yang sok menghayati isi lagu. Juga petikan gitar dengan melodi aneh yang ia ciptakan sendiri. Musik terlangka yang pernah kudengar yang karenanya aku tertawa dengan begitu nikmatnya.

Mulai dari petikan nada pertama, kemudian ia bunyikan suara malaikatnya yang tiada duanya, hingga bait terakhir yang nadanya semakin melengking, tawaku tak juga bisa kutahan. Aku begitu bahagia saat itu. Bukan karena suaranya sumbang atau nadanya yang belepotan, tapi karena aku bahagia dan sangat bahagia. Padahal rumput liar pun tahu lagu itu sedikit pun tak ada romantis-romantisnya, tapi untuk yang satu ini aku tak sependapat. Saat itu yang kami lakukan hanya tertawa lagi dan lagi.Inikah cinta? Ah, betapa indah cinta itu Tuhan.
Saat tawa kami mulai megundang lembayung senja datang, ia bertanya padaku dengan lugunya, “Apa lagu itu romantis?”
Jawabku, “Lebih dari romantis.”
“Apa suaraku bagus?”
“Hmmmmmmm.” Tertawa lagi.
“Apa kamu bahagia?”
“Banget.”
Hey aku tak berbohong. Baru kali ini bisa kutemukan kelebihannya dan ternyata lebihnya itu banyak sekali. Bahkan hanya dengan nada aneh itu pun ia sudah mampu mengembangkan sejuta tawa di bibirku. Kelanjutannya adalah kami tertawa lagi untuk kesekian kalinya. Oh Tuhan mengapa ia memikat hatiku begitu dalamnya? Aku benar mencintainya.

Keesokan harinya masih di teras yang sama saat langit di atas asramaku mulai menguning pertanda siang akan berganti malam, ia datang lagi mengunjungiku. Selalu dengan rambut yang mulai meronta-ronta meraih alisnya yang berjajar rapi di atas matanya yang selalu berbinar. Tak pernah lupa memakai sepatu putih yang agak lusuh itu. Ia pasti baru selesai bermain basket di sekolah. Keringatnya terlihat jelas di punggung kaus pendeknya. Meski begitu, kali ini ia tetap tampak manis seperti biasa dengan kaus merah mudanya yang baru kulihat hari itu. Ia bahkan tak merasa malu memakainya. Dasar orang aneh.

Ia tak akan menatapku walau selintas bila ia belum sampai tepat di depanku. Meski demikian, aku tetap selalu menunggu senyuman itu. Ayo senyum untukku! Cepat senyum! Bisikku dalam hati. Tidak terdengar olehnya. Tidak ada senyuman.

Ia menghampiriku lalu terduduk menunduk. Tak ada senyuman pembuka. Aku pun tak menyapa, hanya menatapnya sambil memainkan gantungan di tas gendongnya. Satu menit, dua menit, tiga menit. Akhirnya ia mengangkat kepalanya. Masih dengan napas yang tampaknya begitu lelah. Ia tersenyum. Hmmm manis sekali. Aku membalas.

Teman sekamarku pasti sedang menguping di balik pintu kamar kami. Ia tidak sendiri, selalu dengan tetangga kami yang setahun lebih tua dariku. Pasti sambil membongkar isi diaryku.
“Abis basket?” Aku membuka percakapan.
“Hmmmm.” Ia mengangguk membenarkan dan masih dengan senyuman itu.
Dari dalam kamar mulai terdengar bisik-bisik yang terlalu keras sampai perbincangan mereka pun bisa kudengar dengan jelas. Aku cukup berpura-pura tidak menyadarinya. Mungkin juga dia yang kusebut sebagai pacarku ini mendengar celotehan-celotehan di belakang punggungnya.

“Minggu ini mau pulang?”
“Nggak tahu nih! Kenapa gitu?” Aku balas bertanya.
“Biar aku antar yah!” Katanya mulai bersandar di tiang besar di antara kami.
“Hah? Ehh….”
“Kenapa?”
“Aku kan nggak dibolehin pacaran. Jadi kalo ketahuan aku pasti kena marah.”
“Oh ya ya. Nggak apa-apa deh.” Tampaknya ia sedikit kecewa.

Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Aku menebak, mungkin coklat seribuan lagi atau mie ayam depan sekolah lagi. Jangan-jangan ia akan menyogokku dengan kado kecil atau apa lah itu. Ternyata semua tebakan itu salah. Yang dikeluarkannya adalah boneka Teddy berwarna cokelat berukuran sedang. Mungkin untukku. Aku yakin saat itu wajahku sangat cerah karena senangnya. Benar saja, ia menyerahkannya padaku. Lalu ia bertanya.

“Kamu bisa bungkusin kado nggak?”
“Eh?” Aku sedikit kaget dengan pertanyaannya.
“Bisa nggak?”
“Aku nggak terlalu pinter bungkusin kado. Buat siapa?” Aku membiarkan boneka itu tergeletak di lantai.
“Teman.” Jawabnya terseynum meyakinkan.
“Oh.”

Menyebalkan sekali. Baru hari ketiga, lembaran diaryku sudah dicoreti dengan kecemburuan dan ketakutan tentang Teddy itu. Kado untuk temannya? Teman yang mana? Pasti perempuan. Pasti cantik. Atau mungkin manatan pacarnya? Aaaaah aku benci boneka Teddy.

Teman-temanku mulai melemparkan bermilyar asumsi yang memancing ketakutanku.

“Jangan-jangan ia selingkuh.” Kata mereka.
“Atau mau balikan sama mantannya.”
Bagaimana caranya aku mencari tahu? Salat? Ah, bahkan Allah tak memberi izin aku untuk pacaran bukan? Mungkin lebih baik cari aman, diam.
Hari ke empat semua masih baik-baik saja. Kami yang belajar di bawah atap kelas yang sama masih berbincang santai bersama. Kali ini ia memamerkan permainan gitarnya yang mulai bisa membunyikan beberapa kunci, E, G, dan C. Kemajuan yang bagus. Sepertinya ia berusaha dengan keras. Jari-jarinya terlihat memerah dan agak bengkak.

Setelah permainan gitar sederhana itu ia mengajakku berfoto bersama dengan handphonenya. Aku tak suka berfoto dengan laki-laki sebenarnya. Lagi pula di sekolah aku merasa sangat culun. Langitnya juga tidak lagi berwarna biru, justru abu-abu. Tampaknya kantung-kantung air di atas sana sudah siap ditumpahkan ke bumi. Foto yang kami buat pun ikut-ikutan mendung.

Hari berikutnya tak ada yang istimewa antara kami. Hanya sapaan basa-basi yang terjadi sekali, pagi hari. Sorenya ia menemuiku seperti biasa. Tak ada bosan-bosannya. Sudah ia cetak foto kami kemarin itu. Sayang, fotonya tak ada bagus-bagusnya. Tepat seperti dugaan. Meski begitu, tetap saja sayang untuk dibuang. Ia mengeluarkan pulpennya lalu menuliskan inisial nama kami di belakangnya, N&A.

Pagi hari ke tujuh aku bangun kesiangan. Pergi ke sekolah pun lebih siang dari biasanya. Dari kejauhan, tepat di kursi sepan kelas aku melihatnya. Berdua. Ia bersama salah satu temanku juga. Ia sempat melihatku tapi tak ada senyuman juga sapaan. Diam. Ah, mereka kan hanya teman, fikirku.

Namun kenyataannya, tak ada satu pun tulisan tanpa coretan. Seperti kisah tanpa akhir. Atau tiada cinta tanpa luka. Sangat tidak mungkin. Yang menyakitkan adalah ketika ia tersenyum dan membuat senyuman di bibir orang lain. Juga saat ia menyenandungkan nada sumbangnya di telinga orang lain. Atau saat ia memamerkan kemampuan gitarnya pada orang lain. Rasanya sakit sekali.

Ternyata bahagia itu hanya ada dalam tujuh hari yang singkat. Ah, cinta apa itu? Ia bahkan tak keberatan membagi kisah-kisahnya pada gorilanya tepat di depan monyetnya. Betapa jahatnya. Betapa sakit cinta itu. Betapa tak bernilai kisah lalu itu. Ia hanya berjalan pergi membelakangiku dengan senyumnya yang terkembang untuk cinta-cinta lain yang siap tertipu sepertiku.

Betapa pun sakitnya, lagu Satu-satu itu masih tetap mampu melukiskan senyum di bibirku hingga air mata melintasi pipiku. Karena meski aku bertemu cinta lainnya lagi dan lagi, suara tanpa nada itu masih menjadi peran utama setiap kisah di hidupku, maka inilah lagu untukmu.

Kini aku berharap waktu
Membawamu dan kekasihmu
Merasa jemu dengan waktu
Dan berpisah
Lalu kau datang padaku
Saat ku masih untukmu
Kapan kau akan menipu dan lukaiku lagi? Aku masih menunggu.

Leave a comment