Kembang Api Penantian

19 Oktober 1945
Seperti biasa Asri mengenakan pakaian kebaya dan jarit panjang menutupi kakinya. Rambutnya ia kepang dua, sangat sederhana namun tetap tampak cantik. Satria memakai seragam tentara lengkap. Mereka berdua terduduk di rerumputan
jess
Terdengar suara korek api dinyalakan
”Ini apa?” tanya Asri
”Ini namanya kembang api. Lihatlah! Nanti kau pasti menyukainya.”
”Bukankah ini sejenis petasan? Petasan itu dilarang kan mas?”
Seperti kata Asri, petasan dan barang-barang sejenisnya seperti kembang api adalah barang gelap kala itu. Sejak zaman Belanda, pemerintahan Belanda telah melarang peredaran petasan.
”Tenanglah, ada aku disini. Pegang ini” perintah Satria seraya memberikan kembang api lidi di tangannya pada Asri.
Kembang Api lidi di tangan Asri mulai memercikkan bunga-bunga api kecil yang memancarkan cahaya terang di tengah kegelapan, berterbangan layaknya tarian dewi kahyangan, penghipnotis semua mata yang melihatnya. Begitu pula dengan mata Asri dan Satria. Mata mereka tak berkedip sedikitpun. Keduanya amat terpana dengan kembang api di tangan mereka. Terjerembab dalam suatu keterpukauan yang membuat mereka berada dalam suasana keheningan di tengah malam hari yang dingin. Betapapun indahnya kembang api namun semuanya hanyalah sementara. Keindahan yang amat cepat pudar akibat tiupan angin pelan. Tapi tidak dengan cinta yang mereka miliki.
”Asri, apakah kamu mencintaiku?” tanya Satria tiba-tiba kala cahaya kembang api mulai padam
Asri mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk untuk memandang kembang api, dilihatnya wajah Satria yang penuh keseriusan.
”Tentu saja Satria” jawab Asri kemudian
”Apakah kamu yakin?” tanya Satriya
Asri mengangguk pertanda bahwa ia yakin
”Jangan cuma anggukan, aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu” desak Satria
Asri menarik nafas sejenak. ”Aku sangat yakin” jawab Asri pasti
”Tapi, apakah kamu me…” ucapan Satria terhenti karena Asri meletakkan jari telunjuknya pada bibir Satria
”Sst. Yakinlah mas. Aku tulus mencintaimu dan aku akan terus menyayangimu sampai kapanpun. Sekarang aku ingin bertanya padamu. Apa yang sudah terjadi sampai-sampai mas menanyakan ini padaku?”
Asri tahu tidak biasanya kekasihnya seperti ini, pasti ada suatu alasan yang membuat Satria meragukan cintanya.
”Bukan sudah, tapi akan.” Satria menghela nafas sejenak kemudian melanjutkan ucapannya
“Besok aku harus pergi. Aku dipindah tugaskan ke Ambarawa balas Satria
”Kenapa harus pindah? Bukankah negeri kita sudah merdeka? Bukankah Yogyakarta adalah kota besar mas? Dan kota ini jauh lebih membutuhkan penjagaan tentara sepertimu daripada Ambarawa” ucap Asri

Satria membelai rambut di kepala Asri dengan lembut dan kemudian berkata ”Justru karena Yogyakarta kota besar. Sudah banyak tentara yang bertugas disini berbeda dengan Ambarawa, masih sedikit sekali yang berjaga disana. Aku mohon sri relakan masmu ini pergi.”

Asri menggeleng, air mata bercucuran dari pelupuk matanya. ”Aku tak ingin..hiks ber hiks pisah hiks denganmu mas” ujar Asri diselingi isak tangis

”Sri, ini sudah menjadi tugasku untuk menjaga negeri ini. Kupinta mengertilah sedikit saja.”bujuk Satria seraya merengkuh Asri dalam pelukannya. Asri menyandarkan kepalanya pada dada bidang Satria, ia masih saja sesenggukan.

”Aku hiks hiks aku hiks tak ingin mengulangi penantian itu lagi mas” Asri berkata dengan diakhiri tangisan yang semakin keras.

Suara tangisannya terdengar begitu memilukan dan menyayat hati. Kali ini amat sulit bagi Asri melepaskan Satria pergi. Dua tahun yang lalu Satria juga seperti ini. Berpamitan kepada Asri demi tugas negara. Masa itu adalah dua tahun paling menderita dalam hidup Asri. Menderita akibat kekhawatiran yang terus menghujam jantungnya bagaikan sebuah pisau tajam. Kekhawatiran akan keadaan Satria apakah ia sehat atau ia terluka. Kecemasan akan keberadaan nyawa dalam raga Satria apakah ia masih hidup atau ia telah pergi dari dunia ini. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang terus menyerang relung jiwa Asri yang paling dalam. Tiap kali ada kabar kematian tentara Asri langsung histeris. Ia bergegas berlari untuk mencari tahu apakah tentara malang itu adalah Satria. Namun dewi fortuna masih berada di pihak mereka. Satria masih bisa terus selamat sampai akhirnya kemerdekaan telah didapatkan. Dan baru satu bulan ini mereka bertemu kembali. Asri tenggelam dalam rengkuhan hangat Satria. Matanya terpejam untuk beberapa lama, ia sedang memikirkan semuanya. Setelah merasa mendapatkan jawaban dari kegundahannya Asri mulai membuka mulutnya
”Mas” panggil Asri lirih seaya mendongakkan kepalanya aga sejajar dengan Satria.
“Iya Sri” Jawab Satria
“Aku..mengizinkanmu untuk pergi asalkan engkau mau berjanji padaku bahwa Mas akan kembali lagi nanti.” Jelas Asri
“ Aku janji” Satria mengangguk tegas
Keheningan menyeruak sejenak. Namun kemudian kembali pecah karena Satria
“Simpanlah sisa kembang api ini. Tunggu aku, dan kita akan menyalakannya bersama lagi” Satria memberikan sisa kembang api yang belum dinyalakan itu kepada Asri.
Asri hanya mengangguk mengerti. Ia meletakkan kepalanya pada pundak Satria. Berusaha menikmati waktu terakhir yang ia miliki bersama kekasihnya. Sisa malam itu mereka nikmati dengan keheningan. Tanpa suara tanpa gerakan, namun tatapan mata mereka satu sama lain telah mengisyaratkan perasaan di hati keduanya
***
15 Desember 1945

“Asri” teriak salah satu tetangga di dekat rumah Asri
“Iya mbak Is. Ada apa?” tanya Asri seraya menghampiri tetangganya itu
Mereka berdua kini sedang berdiri di halaman rumah Asri
“Sudah mendengar kejadian di Ambarawa?” Mbak Is terlihat begitu bersemangat ketika bercerita. Ambarawa? Itukan tempat Mas Satria bertugas”

“Belum, memangnya ada apa disana?” jawab dan tanya Asri kemudian
“Tentara sekutu melanggar janjinya. Telah terjadi pertempuran hebat disana.” jelas Mbak Is
“Apa? Pertempuran?” Asri terlonjak kaget, pikirannya langsung tertuju pada Satria yang sedang ada disana
“Tenang saja tentara Indonesia memenangkan petempuran sehingga Ambarawa telah kita kuasai lagi” Mbak Is bercerita dengan nada bangga
“Lalu, bagaimana dengan Satria? Apa dia baik-baik saja” raut wajah Asri terlihat cemas
“Entahlah, aku tak tahu banyak tentang kejadian itu. Sebatas itu saja infomasi yang kupunya. Permisi Sri, aku mau pulang cucian telah menantiku di rumah ” pamit Mbak Is
“Iya mbak” Asri mengangguk diringi senyuman tipis dibibir

Asri masih saja terpaku di depan halaman rumahnya. Rasa cemas mulai menggelayuti hati dan pikirannya. Telah lama Satria tak memberinya kabar itulah yang membuatnya semakin resah. Kegundahannya semakin lama semakin besar namun apa daya saat ini tak ada yang bisa membantunya. Asri mengarahkan pandangan matanya ke langit sejenak kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah.
Setiap malam Asri lewati dengan duduk di lapangan rumput tempat ia dan Satria terakhir bertemu. Ia selalu memandang kembang api yang Satria tinggalkan untuknya. Hari demi hari berlalu. Kekhawatiran di dalam hatinya terus memuncak. Sampai suatu ketika terdengar sebuah kabar yang amat mengejutkan. Kekasihnya tercinta Satria telah tewas pada saat petempuran Ambarawa kemarin.

Deg

Jantung Asri serasa berhenti berdetak. Berulangkali Asri berteriak histeris.
“Tidak mungkin Satria tewas, aku tak percaya. Tidak mungkin. Dia telah berjanji padaku kalau dia akan kembali. Tidak mungkin” Asri berteriak-teriak seperti orang gila
Suaranya terdengar begitu parau. Siapapun yang mendengarnya pasti akan merasakan kepedihan dalam hati Asri. Mata sembab akibat kerinduan yang menyesakkan dada tak pernah lepas dari dirinya. Ia selalu menyangkal dan menolak kematian Satria.
“Sebelum aku melihat jasad Satria dengan mata dan kepalaku sendiri aku tak akan percaya Satria telah pergi.” ungkap Asri dengan berteriak pada siapapun yang menenangkannya

Setiap hari dirinya bagaikan orang linglung, berdiri di depan rumah dan memandang jalanan dengan tatapan kosong. Sesekali butiran-butiran bening itu meluncur dari pelupuk matanya. Badan Asri nampak kurus, rambutnya yang dikepang dua nampak acak-acakan. Sejak kabar itu terdengar, Asri jarang sekali makan. Jika bukan karena paksaan ibunya Asri pasti tidak akan makan. Ia hanya menunggu menunggu dan menunggu.

Satu tahun berlalu, Asri masih saja seperti itu. Dan kali ini sebuah ide gila tiba-tiba saja terlintas. Asri berjalan menuju jembatan yang ada di desanya. Jembatan itu cukup besar dan dibawahnya dialiri sungai yang mengalir dengan cukup deras. Jika kita jatuh ke dalam sana sudah pasti kita akan terbawa air dan lama-lama akan mati tenggelam. Ia berencana untuk mengakhiri hidupnya disana. Menurut Asri jika memang Satria telah pegi dari dunia ini percuma saja dia hidup. Tak ada artinya, tak ada manfaatnya. Bagaikan seorang burung yang tak mungkin terbang lagi karena salah satu sayapnya telah patah. Satria telah lama menjadi belahan jiwa Asri. Dirinya dan Satria bagaikan dua sisi logam yang seharusnya tak terpisahkan. Rencana pernikahan juga sudah mereka susun. Namun sepertinya Tuhan berkehendak lain.
Langkah gontai Asri telah membawanya sampai pada jembatan itu. Ditengoknya aliran deras dibawah jembatan. Timbul sedikit rasa takut dalam benaknya. Namun kesedihan, kesendirian, kesepian dan kerinduan yang ia rasakan telah mengalahkan segalanya. Tekatnya sudah bulat. Asri memegang besi pembatas di sisi jembatan dan mulai naik di atasnya. Kedua tangannya ia rentangkan. Asri memejamkan matanya dan mulai menghirup udara di sekitarnya.

“Mas Satria, aku akan segera menemuimu di surga. Tunggulah aku” gumam Asri dalam hati.
Hatinya semakin mantap, ia angkat kaki kanannya dan bersiap untuk melompat.
”Asri” teriak seseorang
Kerasnya suara orang itu mengusik Asri. Ia buka matanya perlahan. Kepalanya menoleh kesamping namun tubuhnya tak bergerak dan tetap setia pada posisinya.
”Turunlah!” pinta orang itu kala Asri menoleh ke arahnya.
”Kenapa aku harus turun?” tanya Asri datar
”Aku tak ingin kau mati” jawab orang itu
‘ ‘Bukankah kau tak akan merugi seandainya mati? Jadi untuk apa kau mencegahku Arya?”

Asri menatap mata Arya lekat. Sorot mata Asri penuh kebencian. Arya adalah sahabat Asri dan Satria sejak kecil. Sama halnya seperti Satria, Arya adalah seorang tentara. Kala itu Asri amat enggan bertemu Arya. Ia begitu membenci Arya karena dialah sang pembawa berita kematian Satria. Berbagai tuduhan dan pikiran buruk ia layangkan pada Arya. Asri pikir Arya telah membohongi dirinya. Asri tahu kalau Arya menyukai dirinya. Jadi walaupun terkesan besar kepala Asri terus meyakinkan dirinya sendiri bahwa Arya ingin mendapatkan dirinya dan untuk itulah Arya berbohong. Meski dengan sifat lembut Arya hal itu sama sekali tak mungkin. Asri terus saja menjejali benaknya dengan gagasan itu. Karena hanya itulah, alasan masuk akal yang tersisa untuk mendukung pendapatnya bahwa Satria masih hidup.
”Kata siapa aku tak rugi seandainya kau mati? Sudah jelas aku merugi, kematianmu akan membuat keluargamu menjadi sibuk. Jikalau itu terjadi, mau tak mau aku harus membantu keluargamu. Apalagi kalau kau mati tenggelam dalam aliran deras sungai itu. Tindakan bodohmu akan memaksa seluruh warga desa termasuk aku untuk mencarimu. Dan aku tak ingin hal itu terjadi. Mengerti?” jelas Arya panjang lebar dengan nada mengejek.

Kata-kata manis sepertinya sudah tak mempan bagi Asri. berharap mendapatkan hasil yang berbeda Arya mencoba menggunakan kata-kata kasar untuk mencegah Asri.
”Sudahlah Arya berhenti mencegahku. Pendusta sepertimu tak kan mampu memahami diriku saat ini. Diriku yang sedang berkutat pada ketidaksempurnaan akibat separuh jiwaku telah hilang. Dan tahukah engkau manusia yang telah kehilangan separuh jiwanya seperti aku ini sudah tak memiliki daya lagi untuk hidup. Percuma aku hidup. Aku hanya merepotkan orang lain. Aku tak ingin menjadi manusia lemah lagi. Akan lebih baik jika aku mati.” ungkap Asri dengan nada putus asa
”Iya aku memang tak tahu. Tapi sadarkah kamu Asri, bahwa kau jauh lebih bodoh daripada aku?” sekali lagi Arya berujar dengan nada mengejek. Kedua tangan Arya ia masukkan ke dalam saku. Sikap tubuh Arya terlihat amat angkuh membuat Asri semakin muak. Meski masih berdiri di atas jembatan yang cukup tinggi, Asri tetap terlihat kokoh. Kakinya tak gemetar sedikitpun. Kemarahan dan kebenciannya pada Arya telah mengalahkan ketakutan dalam hatinya

”Cuih, kau bilang aku bodoh? Apa maksudmu? Coba Jelaskan agar aku mengerti!” perintah Asri dengan pandangan tak lagi ke arah Arya melainkan ke depan
”Baiklah, dengarkan penjelasanku baik-baik. Tadi kau mengatakan bahwa aku adalah seorang pendusta. Kita berdua sama-sama tahu, kau menganggapku begitu karena berita kematian Satria yang telah aku bawa. Waktu itu kau sangat yakin dan kekeh bahwa Satria belum mati. Lantas, kenapa sekarang kau bilang separuh jiwamu telah pergi? Bukankah kau yakin Satria masih hidup?”
Perkataan Arya secara tak langsung memaksa Asri untuk berpikir.
” Aku rasa perkataan Arya ada benarnya. Bukankah aku yakin bahwa Mas Satria masih hidup? Lalu kenapa aku ingin bunuh diri?” gumam Asri dalam hati

Kebimbangan mulai bergejolak dalam jiwa Asri. Sampai-sampai kegundahannya membuat Asri mengacak-acak rambutnya sendiri. Asri kembali menoleh kepada Arya.
“Aku rasa kau benar. Tidak sepantasnya aku ingin bunuh diri seperti ini”
Asri turun dari sisi jembatan itu perlahan. Ia berjalan menghampiri Arya dengan ragu. Seketika Arya merengkuh Asri dalam dekapannya. Tangisan Asri pecah
“Maafkan aku Asri. Aku telah membuatmu begini dengan membawa kabar burung yang belum tentu benar. Aku juga merindukan Satria. Dialah sahabat terbaikku. Aku harap Satria masih hidup dan segera kembali bersama kita.” tukas Arya seraya mengelus rambut Asri dengan lembut.
Setelah kejadian itu keadaan Asri semakin lama semakin membaik. Hidupnya mulai teratur kembali. Mata sembab tak lagi menghiasi wajahnya. Hatinya masih merindukan Satria, akan tetapi ia lebih memilih mendoakan keselamatan Satria tiap malam daripada terus berkubang dalam kesedihan seperti dahulu.
***
20 Juli 1947
Suasana kota Yogyakarta malam itu tak begitu tenang. Ultimatum yang Belanda berikan sedikit banyak memberikan kekhawatiran pada tiap jiwa yang ada. Arya merupakan seorang Tentara. Hari ini ia bertugas untuk mengamankan wilayah keraton dan sekitarnya. Sementara Asri sedang berbaring di tempat tidur rumahnya tak henti-hentinya gelisah. Setelah cukup lama berpikir akhirnya Asri memutuskan untuk menemui Arya. Lampu minyak kecil ia bawa untuk penerangan. Asri berjalan mengendap-endap agar tidak membangungkan orang tuanya. Asri telah berjalan cukup lama. Dari kejauhan Arya terlihat berdiri di pintu samping keraton dengan senjata di tangannya. Meski menggunakan jarit Asri berusaha mempercepat langkah kakinya.
”Arya” panggil Asri pelan agar tidak mengganggu tentara lainnya
”Asri” decak Arya kaget
”Untuk apa kau kemari?” Satria berdesis pelan
”Perasaanku tak enak, aku harap kamu berhati-hati. Aku tak ingin kehilangan siapapun lagi” Mata Asri berkaca-kaca
Ia sangat serius dengan apa yang dikatakannya. Cukup sekali pedih itu ia rasakan.. Mata Arya dan mata Asri beradu. Keduanya terjerembab dalam kesunyian tanpa arah. Hanya seulas senyuman tipis di bibir Arya yang tampak. Arya begitu senang pujaan hatinya mengkhawatirkan dirinya. Meski sebenarnya ia tahu hanya Satria lah yang memiliki cinta Asri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dibalik semak-semak. Tak disangka-sangka sesosok pria bertubuh tegap yang sudah lama menghilang keluar dari balik semak itu.

“Asri” panggil sosok itu kala melihat Asri yang bersembunyi di balik Arya dengan masih membawa lampu minyak di tangan kanannya
“Mas Sa..tria” ujar Asri gelagapan
Lampu minyak di tangan Asri jatuh. Mata Asri terbelalak tak percaya. Begitu juga dengan Arya yang tak kalah terkejutnya dengan Asri. Asri berlari menghampiri Satria dan memeluknya dengan erat.
“Mas Satria, aku sangat merindukanmu. Kemana saja kau selama ini?” tanya Asri yang masih dalam pelukan Satria
“Maaf! Aku tak memberimu kabar sama sekali.” jawab Satria
Tangisan Asri untuk kesekian kalinya tumpah. Namun kali ini bukan tangisan kesedihan melainkan tangisan bahagia.
“Kau jahat Mas” Asri memukul dada Satria pelan
“Maafkan aku” Satria mempererat pelukannya. Ia elus rambut Asri perlahan dan terakhir ia kecup kening Asri lembut.
Arya menghampiri Satria dan Asri.
“Hei, darimana saja kau selama ini?” Arya memegang pundak Satria
Satria melepaskan Asri dari pelukannya kemudian menghapus air mata di wajah Asri. Satria beralih memandang Arya.
“Setelah kejadian di Ambarawa aku ikut Jenderal Sudirman sebagai pasukan gerilya. Karena itu aku tak bisa memberi tahu siapapun dimana aku berada. Maaf aku telah membuat kalian khawatir” Satria menunduk. Ia terlihat amat menyesal.
“Tak apa kawan. Yang terpenting sekarang kau telah kembali kesini”
Mereka bertiga bercengkerama untuk menghilangkan semua kerinduan yang selama ini dirasakan. Walau rasa cemburu sedikit menghampiri Arya kala melihat Satria dan Asri akan tetapi ia teps itu semua. Jika orang yang ia sayangi bahagia maka ia akan ikut bahagia. Namun tiba-tiba sebuah hal yang tak diinginkan terjadi.

Duarrr
Dentuman keras terdengar. Ternyata itu adalah suara bom yang dijatuhkan oleh Belanda tepat pada tengah malam hari itu. Suara tembakan terdengar dimana-mana. Asap akibat ledakan tadi mengepul. Pandangan mata menjadi kabur. Tentara Belanda melakukan penyerangan dari segala penjuru. Semua orang berhamburan keluar dari rumahnya berusaha menyelamatkan diri. Situasi semakin tak terkendali
“Asri sebaiknya kau cepat lari dari sini” pinta Arya
“Tapi, aku tak mungkin meninggalkan kalian berdua” rengek Asri
“Tidak kau tidak harus sendiri. Satria bawa Asri pergi dari sini biar aku yang melindungi kalian” Arya menyiapkan senapan di tangannya
“Tapi Arya, kau bisa mati konyol.” tolak Satria
“Tenang itu tak akan terjadi cepat pergi” teriak Arya

Duar duar
Arya menembak tentara Belanda yang tiba-tiba muncul dari belakang. Satria menarik tangan kanan Asri dengan paksa.
“Mas aku tak mau meninggalkan Arya disini” tolak Asri
“Aku tak apa, per..” suara Arya terputus
Hujaman peluru tepat mengenai jantungnya. Ia tertembak dari belakang. Dalam keadaan seperti itu Arya masih bisa berbalik dan kemudian menembaki tentara Belanda.
“Aaaaa” teriak Arya seraya mengarahkan senapannya ke segala penjuru
“Arya” Asri juga ikut berteriak. Matanya kembali basah. Ia tak tega melihat keadaan Arya yang sempoyongan dengan darah di dadanya. Namun Arya masih bisa mengangguk dan tersenyum ke arah Asri
Satria terus menahan tubuh Asri agar tidak kembali kesana. Ia tahu nyawa Arya tak mungkin tertolong lagi.
“Asri, kita harus pergi” pinta Satria
“Tapi mas..”
“Tak ada tapi, aku tak ingin kau terluka.” Satria berteriak.
Suara tembakan yang terus menderu membuat mereka sedikit kesulitan berkomunikasi
“Mas awas” Asri mendorong Satria sampai jatuh.
Duarr

Asri tertembak oleh pasukan Belanda. Tubuhnya tehempas ke tanah. Darah mengucur dari dadanya
“Asri” teriak Satria
Satria langsung mengarahkan senapannya kepada penembak Asri. Dengan sekali bidikan tentara Belanda itu terjatuh. Satria menghampiri Asri yang sudah terkulai lemas di tanah. Ia angkat kepalanya dan meletakkannya di pangkuannya.
“Sri, kenapa kau menolongku tadi? Kita baru saja bertemu tapi sekarang..” ungkap Satria diselingi dengan isak tangis
“Tak apa mas.. aku ikhlas menolongmu. Seperti Mas Arya menyelamatkanku. Ia telah menyelamatkanku sebanyak dua kali. Jadi kenapa aku harus menolak kesempatan untuk menyelamatkanmu mas?” Asri berujar dengan pelan. Bukan hanya pelan suaranya lebih mirip sebagai bisikan. Asri pergi dengan senyuman dibibir. Wajahnya nampak tenang dan tak terlihat guratan kekecewaan sedikitpun. Penantiannya telah usai. Ia telah bertemu dengannya kembali. Meski sangat singkat itu sudah cukup baginya. Satria terus menangis malam itu. Sampai-sampai ia tak menyadari ia sudah terkepung oleh tentara Belanda.
“Angkat tangan” perintah pasukan Belanda
Satria tetap duduk disitu dan tak bergeming sedikitpun. Ribuan tembakan meluncur dari senapan para tentara Belanda mengenai tubuh Satria. Namun ia tetap disitu. Duduk dan memeluk tubuh Asri yang sudah tak bernyawa lagi. Bom yang dijatuhkan tentara Belanda bagaikan kembang api di malam itu. Menutup kisah tragis cinta mereka.

Cinta tak harus memiliki
Penantian panjang juga tak selalu berujung manis

Tapi bukan berarti kita harus berhenti mencinta
Karena cinta adanya di hati bukan di raga

Setidaknya sekali rasa itu pernah hadir
Jiwa ini kan tenang kala menghadap ilahi

Meski ruh telah pergi
Meski cinta tak diraih lagi

Leave a comment