Jingga di Ujung Senja

“Nja, senjanya! The most perfect one!”

“Hah? Mana? Huuh, nggak ah nggak. Biasa aja. Jingganya kayak kemarin. Nggak ada yang spesial.”

“Duh, kamu! Kamu mau senja yang gimana, sih?”

“Sederhana kok, senja yang ada jingganya.”

“Terus di depan kamu itu apa?”

“Aku butuh jingga di ujung senja. Aku butuh jingga yang menemaniku hingga senjaku menghujung.
Aku butuh jinggamu. Aku butuh kamu, Jingga.”

Dear Senja,

Apa kabar? Sudah lama sekali kiranya kita tak bertemu. Dialog di atas.. Rangkaian kalimat yang terucap dari bibirmu kala itu selalu kuingat. Tanpa kuperintahpun barisan-barisan percakapan itu terngiang dalam benakku. Mengingatkanku saat momen itu berlangsung. Manis. Masih benar-benar terbungkus manis dalam imaji.

Coba tebak aku dimana? Yup, kau benar. Kini aku tengah duduk di salah satu jembatan penguhubung pulaumu dan pulauku. Ya, Aku masih di sini, Nja. Di tempat kita membangun serta membingkai mimpi dulu.

Jembatan Ampera. Sungai Musi. Senja. Jingga.. Bisakah kau memberitahuku kapan kuharus meninggalkan semua ini? Duhai Senja.. Kapan aku bosan memandangi tempat ini? Aku perlu memberitahumu bahwa, sampai kapanpun aku tak akan pernah jenuh berkunjung kemari.

Nja, bangunan ini berubah. Life really-really changes. Entah mengapa menurutku sudah tak sama lagi seperti dulu. Jembatannya, aspalnya, kendaraannya, sungainya.. Jika kau masih di sini, mungkin tak akan begini, Nja. Aku yakin itu.

Ingat jernihnya Sungai Musi yang dulu sering kita tangkap dalam bidikan lensa? Kini jernih itu pergi, Nja. Menyilahkan kehitam-pekatan sampah mencemarinya di sana-sini.
Ingat semua kendaraan yang dulu kita perolok karena tak layak pakai dengan membiarkan knalpot besinya mengeluarkan dioksida putih-bahkan hitam? Kini mobil-mobil tua yang seharusnya telah dihancurkan itu seolah merajai jalanan ini, Nja. Mengusik kesegaran semilir angin barat yang harusnya selalu dapat dinikmati.
Ingat bebasnya berpetualang menyusuri sisi-sisi jembatan yang selalu jadi agenda weekend kita? Kini tak boleh lagi, Nja. Keramaian kendaraan yang berlalu-lalang menghalang pejalan kaki tuk hanya sekedar berjalan di areal jembatan.

Banyak yang berubah, kan? Tenanglah, Nja. Aku tahu kau sangat kesal setelah mengetahui ini. Kau yang di sana saja merasa sebal, apalagi aku yang nyata-nyata menjadi saksi perubahan itu berlangsung? Beginilah nasib kita menjadi fotografer amatiran yang tak akan pernah punya nama. Mungkin kita bisa berekspresi lewat objek dalam tangkapan lensa bundar. Tapi tak pernah ada perubahan berarti. Semua memburuk. Tak ada yang peduli.

Lantas? Mengapa aku masih di sini? Duduk di sisi jembatan yang kukabarkan tak boleh dirayapi lagi oleh petualang seperti kita? Nja, kamu pasti tahu satu alasan kuat mengapa aku di sini. Alasan mengapa-sampai detik ini-aku masih betah berlama-lama di jembatan ini. Oh, Senja-ku.. Perlukah kujelaskan lagi?

Sepertinya tebakanmu selalu benar sekarang, Nja. Satu-satunya hal mengapa aku di sini karena satu-satunya hal yang tak akan pernah berubah di sini. Sebuah kealamian langit yang selalu buatku berdecak kagum akan keindahannya. Seberkas momen yang selalu kutunggu kehadirannya. Sebuah saat dimana kita selalu berada bersama dalam satu ikatan yang tak akan pernah terpisah.

Senja berjingga. Jingga di ujung senja.

Hanya itu…Hanya itu alasanku mengapa ada di sini. Hanya itu yang membuatku merasa terlengkapi oleh kehadiranmu. Keelokan selaksa langit itu, tak akan pernah berubah, Nja. Abadi layaknya dulu. Membuatku mengerti bahwa kita akan selalu abadi, Nja. Jingga dan Senja. Satu-kesatuan yang akan selalu melengkapi dan mendukung tuk memberi pertunjukkan terakhir sebagai penutup pancaran mentari di setiap hari.

Satu hal yang perlu kau tandai, Senjaku sayang. Orang, Ampera, Musi, Palembang, Indonesia, dunia.. Selalu berubah. Menapaki tingkat demi tingkat menjadi lebih baik dari hari ke hari. Tapi perasaanku tak akan pernah berubah. Perasaan ini tak perlu menjadi lebih baik. Karena sejak pertama, aku telah sadar bahwa perasaan ini.. Ialah yang paling baik dan kan selalu begitu. Sama halnya dengan Jingga dan Senja di hadapanku. Yang selalu terlihat sama sempurna. Tak kan lekang termakan waktu. Abadi selalu.

Love,

Jingga.

Seorang gadis yang tengah duduk di pinggiran jembatan ampera itu tersenyum. Secarik kertas lusuh bertuliskan kerinduan sang mama kepada papanya telah ia baca. Sejenak beban hatinya seakan meringan. Ia lega mengetahui kisah kasih orangtuanya yang telah lama meninggal. Setidaknya, kini ia tahu mengapa dirinya sangat suka dengan senja. Bahkan sekarang, ia merasa terlengkapi oleh senja menjingga di hadapannya.

“Jadi ini alasannya kenapa mama namain aku Senja.. Mama, Papa, abadi cintamu masih di sini. Pada jingga di ujung senja itu. Pada hati senja anakmu. Dan akan selalu begitu. Aku merindumu, Ma, Pa..”

Leave a comment