Sehangat Serabi Solo

Pasar Klewer. Huh, kenapa siang-kerontang begini aku malah kemari? Mengendarai motor matic-ku yang seakan menderu lelah mengantarkanku kesana-kemari di bawah terik matahari? Ohya, benar. Aku kemari karena kakakku. Ia menyuruhku kemari tuk menjemputnya selepas berburu kain batik.

Astaga! Hari ini sangat panas! Benar berita yang kudengar di radio tadi. Bahwa Kota Solo akan bersuhu sekitar 32° sampai malam nanti.

Kroaak-kroaak!

Perutku berbunyi minta diisi. Ini memalukan. Bunyinya bahkan mengundang orang di sebelahku menoleh-nolehkan kepalanya karena heran suara apa yang baru saja didengarnya. Ya, aku memang belum makan apa-apa sejak pagi. Mending aku makan serabi dulu kali, ya. Batinku saat menangkap penjual serabi solo di tepi trotoar yang terteduhkan oleh tenda pedagang tersebut.

“Serabinya mas, makan sini.” Ucapku memesan kudapan pengganjal lapar itu. Setelah menunggu dan memapah sepiring serabi, mataku menyapu cepat sekitarku. Tak ada meja kosong. Oh, ada! Tepat di hadapan seorang turis asing backpaker yang kini tengah sibuk mengunyah sembari mengutak-atik SLR-nya.

“Mind if i sit here?” Tanyaku pada turis arab berpakaian santai itu. Aktivitasnya terhenti sesaat kala mata hazel coklatnya menatapku nanar.

DEG!

Entah mengapa tiba-tiba aku seolah terkunci pada pandangan sinisnya itu. Oh, Rasya! Ayolah! Ia hanya pemuda kebanyakan. Yang berbeda hanyalah wajah arabnya yang sedikit tampan itu! Apa..? Tampan?

“No, definitely. Feel free to sit.” Ucapnya dingin. Lalu ia kembali berkutat dengan kameranya.

“Oh, okay. Thanks.” Ucapku beberapa detik setelah termangu di tempat. Sejenak, kecanggungan menyelimuti suasana kami. Aku mencoba menyibukkan diri dengan serabi hangat-yang entah mengapa tiba-tiba terasa hambar-di depanku seraya memutar-mutar otak tuk mencari topik apa yang tepat untuk diperbincangkan. Tidak biasa aku menjadi pendiam seperti ini.

“So, Indonesia panas sangat, right?” Tanyanya dengan aksen Inggris kental dan Bahasa Indonesia yang terdengar lucu. Aku terkekeh pelan.

“Yep, tapi kita pasti juga akan merindukan panas ini.” Jawabku berniat tuk membingungkan dirinya.

“Pardon?” Ucapnya dengan mimik muka sok kerennya seakan ia hanya minta pengulangan untuk apa yang kukatakan, bukan meminta penjelasan dari kalimat yang kuucapkan. Aku terkekeh lagi. Jaim sekali ia! “Alright-alright, I can’t speak bahasa fluently. Sorry.”

“You don’t need to apology, mister….” Lalu aku menjelaskan kembali apa yang kukatakan. Aneh. Seketika, lidahku bisa kembali merasakan hangatnya serabi di depanku-yang sebelumnya terasa dingin-ini.

Dan pembicaraan kami mengalir lancar. Kami memperbincangkan banyak hal. Kunilai ia tipe penentang argumen orang. Dengan seulas senyum penuh keyakinan yang selalu tersungging dari bibirnya.

DEG!

Aku bisa merasakan degup jantungku yang tak beraturan setiap aku menangkap cekungan tipis itu. Sial. Kenapa aku jadi begini? Ini tidak biasa. Ini benar-benar tak boleh dilanjutkan. Aku tak boleh jatuh hanya dalam pesona senyum dan manik indahnya itu. Seolah merespon ke-tak-inginan-ku, pemuda arab itu pamit meninggalkanku.

“Well, nice to talking with you, ..?”

“Rasya.”

“Yeah, Rasya. Well-Bye.”

“Bye, have a nice weekend, mister!” Salamku padanya yang kini tengah berjalan keluar. Lalu ia terkekeh lagi menanggapiku. Tidak, jangan..jangan tersenyum lagi, tolong..degupan ini kian meliar dari sebelumnya tuan, ayo cepat pergilah.. Pergilah..

“Can we see again?” Tanyanya yang sontak mengagetkanku tepat ketika secuil serabi akan memasuki mulutku.

Argh! Jantungku! Ya Tuhan, Rasya! Ia hanya pemuda biasa! Mengapa kau bisa sampai segugup ini?

“You want to see me again?” Tanyaku kembali tak percaya dengan apa yang ia tanyakan.

“Why not?” Tanyanya kembali dengan sesungging senyum lebar dari mulut tipisnya. Meninggalkanku yang tersipu dan berusaha menutupinya dengan kembali mengunyah sisa serabiku.

Serabi di piringku sudah tinggal sepotong lagi. Cepat-cepat aku mengunyahnya karena kakakku ternyata telah mengirimiku berpuluh pesan tepat saat aku bebincang dengannya. Kuakui sisa serabi ini tak terasa hangat lagi. Amat beda dengan tadi-saat turis itu masih di sini. Sebentar.. Apa yang sedang kufikirkan?!

“Berapa mas?”

“Nggak usah mbak, sudah dibayar mas arab tadi.”

“Lho?”

“Ini mbak, buat mbak.” Ucap penjual serabi ini dengan menyerahkan secarik kertas bertuliskan tangan seseorang kepadaku.

“Hey, Rasya. Thanks for admit me just now. Nice to know you. We’ll see again, right? I’ll be waiting you here, at the same time, day and place. Next year.
-Zayn
PS: How could i forgot to told you about my name?”

Zayn? Benarkah itu namanya? Oh, Rasya..Kau benar-benar harus mengakui karena telah jatuh hati padanya. Tahun depan, ya. Itu berarti.. aku harus menunggu rasa itu sampai tahun depan, begitu? Ah, aku benar-benar tak sabar. Aku akan sungguh merindukan hangatnya perasaan tadi.

Sehangat serabi Solo saat aku bersamanya.

Leave a comment