Friendship is everything
But love is a gift
Bandung, Februari 2001
Sore itu cuaca tidak cerah mengingat saat ini mendung gelap menggantung, menyembunyikan matahari yang seharusnya masih berdiri gagah di cakrawala sebelah barat dan mengubah langit sore itu menjadi warna jingga yang sangat indah. Kedua sosok berseragam putih biru itu masih bergelut di tengah jalan mengabaikan suhu yang membuat siapapun akan menggigil kedinginan, seharusnya laki-laki yang mengolah sepedanya itu mempercepat olahan pedalnya agar mereka segera sampai rumah kemudian bisa menghabiskan sore dengan tidur ditemani gundukan selimut yang tebal dan secangkir coklat hangat.
Reza Pratama mengolah pedal sepedanya lebih kuat, “Cinta, kamu pegangan aku yang kuat ya. Sebentar lagi hujan, kalau kita nggak cepet-cepet nanti bisa kehujanan.”
Gadis yang bernama Cinta itu membonceng Reza dibelakang mengangguk kecil, “Iya, Za !!” jawabnya setengah berteriak.
Cinta menundukan kepalanya, berlindung dibalik punggung Reza ketika terpaan angin terasa membuat bulu kuduknya meremang, tidak lama kemudian rintikan gerimis sudah mulai turun perlahan membasahi daratan aspal menjadi berwarna lebih gelap.
Cinta merapatkan jaketnya sesaat rintikan gerimis mulai berubah menjadi hujan, “Za, kita berteduh dulu yuk ! Hujannya bakalan tambah deres deh. Itu ada warung, kita bisa beli makanan dulu sekalian nunggu hujanya reda.” kata Cinta, dia berteriak dan berharap suaranya cukup didengar oleh telinga Reza, karena bunyi deruan angin dan rintikan hujan menimbulkan suara yang cukup berisik.
Reza tidak menjawab tetapi telinganya berhasil menangkap apa yang diteriakan Cinta, dia membelokan sepedanya kearah warung dengan teras luas kemudian duduk di salah satu kursi kayu yang berjajar. Suasana warung itu tidak ramai hanya ada beberapa orang yang kelihatannya tampak sedang berteduh juga ditemani dengan segelas minuman yang terlihat mengepulkan asap kecil dari cangkirnya.
Cinta melepaskan jaketnya dan menggosok kedua telapak tangannya, dia tersenyum kepada sosok ibu yang berdiri menghampiri mereka dengan senyum ramah, “Bu, kita pesen teh anget dua sama mi rebus ya.”
Ibu itu mengangguk kemudian berbalik dan meninggalkan Reza dan Cinta.
“Kamu ngabarin ibu kamu dulu Cint, nanti tante Lena nyariin kamu.” Kata Reza, dengan suara yang terdengar menasihati. Laki-laki ini adalah sahabat Cinta, mereka sudah bersahabat sejak kelas 4 SD.
Reza Pratama adalah satu-satunya laki-laki yang dapat mengerti Cinta. Empat tahun bersama gadis itu dengan secara otomatis membuat memorinya menyimpan dan menghafal setiap hal dan segala sesuatu yang tidak disukai dan disukai Cinta. Reza selalu menyukai kebersamaannya bersama sahabat perempuannya itu. Merasa sangat tenang dan dia tidak tahu apa ada definisi lain selain kata bahagia untuk menggambarkan saat-saat ia bersama Cinta.
“Udah kok Za.” Jawab Cinta, dia melipat tangannya di atas meja dan merubah posisi duduknya sedikit bergeser, “Eh kamu tahu nggak kemarin Rendy nembak aku.”
Reza memutar wajahnya, “Beneran ? terus gimana ? Kalian jadian ?”tanya Reza tidak dapat menutupi rasa kagetnya. Ini adalah kali keempat Reza mendengar pernyataan yang sama dari Cinta. Sejak tahun kedua mereka masuk SMP ntah sudah ada berapa laki-laki yang menembak sahabatnya itu.
Cinta yang tinggi, berkulit putih, memiliki mata bening dengan warna kornea hitam legam, rambutnya senada dengan warna bola matanya, lurus panjang sepunggung dengan ikal-ikal dibagian bawahnya, bukan hanya ini, Cinta juga memiliki otak yang cerdas, beberapa bulan yang lalu ia baru saja menjuarai lomba debat Bahasa Inggris antar SMP di Bandung, semua yang ada pada gadis ini memiliki nilai tambah dimata teman-teman laki-laki dan para kakak kelasnya. Pembawaannya yang ramah, dan ceplas-ceplos membuatnya dikagumi oleh banyak teman-temannya. Gadis ini bukan tipe gadis yang feminim, bahkan bisa dikatakan cuek tidak terlalu mementingkan pakaian yang ia kenakan, baju kaos dan celana jins adalah pakaian kesukaannya. Simpel.
“Menurut kamu Rendy gimana Za, dia kan temen basket kamu ?”
Reza menghela napasnya, da tersenyum tipis. “Dia baik, pinter juga, tapi.. kalo masalah keren sama cakep ya cakepan aku donk..”
Cinta terkekeh, dia mengibaskan tangannya di depan wajah, “Alah kamu. Dasar narsis banget sih !”
Reza tertawa, “Kamu suka nggak sama dia Cint ?” tanya Reza, kali ini suara laki-laki itu terdengar cukup serius dan tenang.
Cinta berdehem pelan, dia baru saja hendak memberikan argumennya tetapi sang ibu datang mengantarkan pesanannya. Cinta mengucapkan terimakasih sebelum ibu itu berlalu, dia mengaduk teh hangatnya dan menyeruputnya sedikit.
“Aku…” suara Cinta terhenti menggantung. Ada sedikit keraguan saat ia hendak melanjutkannya. “Aku nggak tahu Za, kamu kan tahu sendiri selama ini banyak yang nembak aku tapi selalu aku tolak. Pacaran itu emang buat apasih. Kayanya gak penting juga kan. Umur aku juga baru mau empat belas tahun. Apa kata mama aku coba nanti, kecil-kecil udah pacaran. Dan aku lihat si Tika yang seminggu kemarin baru jadian sama Bagas eh kemarin udah putus dan dia nangis-nangis gitu. Ck, kurang kerjaan banget kan ?”
Reza tertawa kecil, “Hahaha kamu tuh ya Cint, yang nembak kamu itu orangnya keren-keren. Si Tomi ketua osis, Amir kepten sepak bola SMP kita, Damar juara lomba matematika dan terakhir ini, Rendy anak basket. Apa coba yang kurang dari mereka ? Eh.. kamunya malah nolak mereka semua.”
Cinta mengunyah mi nya, dia ikut tertawa. “Reza sahabatku yang paling cakep sedunia, aku masih kecil belum mau pacaran ! Pedekate, tembak, jadian, manis-manisan gitu, kemana-mana mesti beruda besoknya tiba-tiba cemburu, berantem, putus deh ! Pacaran itu cuma buang-buang energi tahu Za !”
Reza mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju dengan argumen Cinta. Ada rasa tenang yang selalu dirasakan Reza setelah kekagetannya berangsur menghilang, dia tidak tahu ketenangan untuk apa. Hanya saja Reza saat ini merasa ingin tersenyum lebar, “Bagus deh Cint, tunggu nanti dewasaan dikit ya.”
*****
Bandung, Oktober 2001
Reza memberikan bungkus kardus berwarna putih dengan pita warna biru diatasnya kepada Cinta. Bibir laki-laki itu tertarik keatas membentuk senyuman sempurna yang membuatnya terlihat sangat tampan. Dengan kemeja warna biru laut yang lengannya digulung keatas sampai batas siku, rambut kecoklatan Reza yang ditata asal dan celana jeans hitam dipadu dengan sneaker putihnya membungkus laki-laki jangkung itu dengan sangat pas.
“Selamat ulang tahun ya Cint.” Ucap Reza dengan suara yang ceria, dia mengacak rambut Cinta dan terkekeh geli saat melihat gadis itu menggembungkan pipinya kesal.
“Aduh Za, jangan ngacak-ngacak rambut aku donk ! Aish kamu itu ya !” protes Cinta tanpa ada nada marah disuaranya. Gadis itu sudah terbiasa dengan perlakuan Reza yang selalu seenaknya saja, dan ntahlah sepertinya Cinta juga belum pernah memarahi sahabatnya itu. “Ngomong-ngomong apa ini Za ? Kamu tuh ya ngapain pake ngado-ngado gini sih ?!! Aku kan bukan anak kecil lagi ?!”
“Oh jadi sekarang sahabat aku ini udah gede ya ??” goda Reza seraya mencolek hidung Cinta, dia menggunakan nada mengejeknya yang membuat pipi Cinta bersemu merah.
“Idih apaan sih kamu Za !” Cinta memukul pundak Reza pelan, dia bisa merasakan pipinya terasa memanas. Cinta tidak tahu apa gerangan yang menimpanya. Terkadang sentuhan kecil Reza memang membuatnya salah tingkah, jantungnya berdegup kencang, dan aliran darahnya berdesir cepat.
Reza tertawa lagi.
“Terus ketawa mulu aja kamu ! Puas banget ya jadiin aku bahan ejekan gitu !” Cinta mengerucutkan bibirnya dan berjalan mendahuli Reza, dia duduk di ayunan taman depan rumahnya. Cinta menghela napasnya lega, dia mendongakan wajahnya keatas dan memandang langit yang menggelap. Tidak banyak bintang yang ada di langit malam itu, hanya saja Cinta merasa jauh lebih tenang malam ini.
“Za, boleh aku buka nggak ?” ujar Cinta, dia mengangkat bungkusan kecil itu dan mengangkat alisnya sebelah.
Reza mengangguk kecil dan berjalan duduk disebelah sisi kosong sebelah Cinta.
“Ya ampun Za. I..ini..” Cinta terbata. Dia tidak tahu harus mengatakan apa, kado yang diberikan Reza adalah sebuah buku berjudul ‘Memotret dengan Kamera Lubang Jarum’ dimana buku ini cukup sulit untuk didapatkan. Cinta bahkan sudah memasuki semua toko buku yang ada di Bandung tapi dia sama sekali tidak mendapatkan buku itu. Gadis itu memang memiliki hobi memotret. Bagi Cinta foto itu adalah kenangan dalam bentuk kongkrit.
Menahan suatu peristiwa saat ini dalam sebuah kertas untuk masa mendatang.
Cinta sudah bercita-cita sejak kecil ingin menjadi fotografer terkenal.
Kedua bola mata hitam itu berkaca-kaca.
Reza menyipitkan matanya saat menangkap setetes bening itu keluar dari sudut mata Cinta yang jatuh dengan sangat cepat, “Hei kok nangis sih Cint ? Ih jangan nangis donk ! Tuh kan muka kamu jelek banget kalo mau nangis gitu ! Cinta itu nggak pantes nangis !”
Cinta mengelap sudut matanya, dia terlihat mengatur napasnya sebentar. “Nggak nangis ! Ih siapa juga yang nangis !” elaknya kemudian berusaha tertawa.
“Bagusdeh ! Yaudah mendingan traktir aku yuk, laper nih !” Reza menepuk-nepuk perutnya dan tersenyum lebar.
“Huu dasar ! Ada maunya deh !”
Mereka berdua kemudian beranjak dari sana, berjalan bersebelahan, sesekali Cinta mendongak mengecek apakah bintang di langit sudah bertambah atau masih tetap seperti yang tadi dilihatnya. Bibirnya merekah sesaat menangkap langit diatasnya sudah terhampar milyaran bintang yang berpendar terang berkelap-kelip sangat cantik.
“Za ?” panggil Cinta pelan.
“Hmm ?”
“Ulang tahun kamu nanti mau kado apa ?”
Reza mengerutkan alisnya, dia menoleh melihat wajah Cinta sekilas memastikan ekspresi gadis itu tetapi dua detik kemudian Reza mengalihkan pandangan matanya mencari objek lain. Reza menghirup napasnya panjang dan dihelanya perlahan. Dia tersenyum kecil, matanya terpejam sebentar, “Aku cuma minta kamu selalu ada disetiap tahun saat aku ulang tahun. Sederhana kan ?”
*****
Bandung, April 2003
Putra menggenggam tangan Cinta erat saat merasakan bobot dipundaknya. “Cinta aku sayang banget sama kamu.”
Cinta menggumam pelan, “Aku juga Put, kamu janji ya kita akan sama-sama terus. Kamu kan udah buat aku suka sama kamu, kita juga udah ngejalanin ini selama satu tahun, jadi kamu harus tanggung jawab dan nerima konsekuensinya !”
Putra mengernyit. “Konsekuensi ? Apa ?” nada suaranya meninggi.
Cinta terkekeh dan mengacak rambut Putra, dia mengubah ekspresi wajahnya menjadi lebih serius, “Kamu nggak boleh ninggalin aku !”
*****
Bandung, Desember 2003
“Za, minggu depan aku dua tahun sama Putra. Seneng banget deh.”
“Oh ? Wah nggak nyangka ! Cepet banget ya ! Aku seneng dia nggak pernah nyakitin kamu Cint.”
Cinta tersenyum. “Kamu cepetan donk cari pacar, biar kita bisa double date. Banyak banget tahu nggak cewek yang suka sama kamu di sekolahan Za ! Kamu cakep, ketua osis, jago basket, siapa juga yang nggak terpesona sama cowok kayak kamu !”
Reza tertawa, tawanya bukan tawa yang lepas, sebuah tawa yang terdengar mentertawakan dirinya sendiri. Ia juga tidak mengetahui kenapa ia harus mengeluarkan jenis tawa seperti itu.
“Za ? Kamu denger aku kan ? Kok bengong gitu sih ? Ada masalah ? Ada cewek yang lagi kamu suka ? Ayo kasih tahu ke aku nanti aku bantuin deh. Kita kan udah gede, nggak apa-apalah pacaran.Cinta itu ngebuat hidup kita jadi rame.”
Helaan napas berat keluar dari rongga hidung Reza, “Nggak.. nggak ada kok Cint. Udahan dulu ya teleponannya, belajar gih bentar lagi ujian kan kita ?”
******
Bandung, Februari 2004
Putra mendekatkan wajahnya kearah Cinta dengan gerakan perlahan, nyaris beberapa centi lagi bibirnya menempel diatas bibir kecil milik Cinta jika saja sebuah tamparan tidak mendarat di pipinya dengan cepat.
“Aw !”
Napas Cinta memburu cepat, “Kamu apa-apaan sih Put ?” nada suaranya meninggi tanda emosi.
Mata Reza memerah, dia memegangi pipinya yang panas dan berkedut. “Aku mau minta ciuman dari kamu ! Kita kan udah dua tahun lebih pacaran Cint, masa kamu nggak pernah ngasih aku apa-apa ?”
Tamparan panas memecut hatinya. “Kamu kira aku cewek murahan hah ? Kita itu baru pacaran ! Enak aja main cium-cium ! Jaga sikap kamu ya Put !”
Emosi Putra terpancing, seperti sebuah tamparan yang kembali mendarat di pipinya. Dia mengangkat dagunya tinggi. “Jadi kamu bukan cewek murahan ? Cih, muna banget kamu Cint ! Si Reza main di rumah kamu sampe malem itu ngapain aja ? Sedangkan aku paling mentok ke rumah kamu juga nyampe setengah sembilan ! Yang pacar kamu itu aku apa si Reza hah ?”
PLAK !
Tangan Cinta berkedut panas, dada gadis itu bergerak naik turun. “Jaga omongan kamu ya Put ! Reza itu sahabat aku dari kita SD ! Mama aku juga udah percaya sama dia dan tolong banget jangan nyeret-nyeret nama dia disini !”
“Lihat ! Kamu belain aja dia ! Selama ini aku pacaran minta ciuman itu bukan hal yang susah ! Dan baru kali ini cewek yang pernah aku pacarin belum bisa aku dapetin ciumannya !”
Cinta mendengus, “Fine, mulai sekarang kamu nggak perlu nganggep aku pernah jadi cewek kamu Put ! Jijik aku sama kamu jadinya ! Nyesel banget selama ini ngebuang waktu sia-sia sama cowok nggak tau etika macem kamu !”
******
Bandung, Maret 2005
“Cint ayo makan donk, nanti kamu sakit. Mau sampe kapan kayak gini hmm ? Kamu nggak kasian mama sama papa kamu ? Kamu nggak kasihan sama aku ?”
“Cint, buka donk mulutnya, makan yuk dikit aja deh ! Ah nggak seru banget masa Cinta yang doyan makan jadi gini sih ! Aku kangen Cinta yang dulu..”
“Bulan depan kita ujian Cint, move on ! Survive ! Hidup kita masih panjang. Kalau kayak gini kamu itu cuma ngebuang waktu !”
Cinta menghela napasnya, dia menyibakan selimutnya, sudah hampir satu bulan gadis itu mengurung diri di kamarnya, menjadi lebih pendiam, tidak nafsu makan dan menutup diri. Ia menyandarkan tubuhnya di pada besi pembatas di balkon kamarnya. Tubuhnya condong ke depan, matanya terpejam bersamaan, terlihat sedang menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Banyak hal yang terjadi selama ini. Banyak hal yang berubah dan berganti. Tapi dia sadar satu yang tidak pernah beranjak dan berpindah tempat sedikitpun. Sosok itu. Sosok yang selalu ada sembilan tahun dalam hidupnya. Menemaninya tertawa. Menjadi telinganya. Menampung semua keluhannya. Tidak pernah membuatnya menderita sakit seperti ini.
Reza bediri ikut terhanyut dalam diamnya. Bagi laki-laki itu tawa dan kebahagian Cintalah yang paling utama. Ia bahkan rela bertahun-tahun menekan perasaannya sendiri. Selalu mengatakan semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya, selalu berusaha berfikir realistis. Walau terkadang ketika ia merasa ingin menangis kenyataan bahkan menuntutnya harus tertawa, Reza selalu menjadi manusia paling bodoh sedunia jika sedang berada di samping gadis itu. Tapi dia tidak pernah peduli. Bertahan pada kenyataan bahwa ia masih bisa melihat gadis itu dalam penglihatan matanya, karena Reza sadar, dia tidak perlu mengatakan perasaannya dengan gamblang, dia juga tidak mau menuntut apapun dari Cinta. Hanya sahabat dan mungkin tidak akan pernah berubah. Dan jika harus berubah Reza terlalu takut jika suatu saat nanti harus dihadapkan pada kenyataan seperti yang dialami Cinta dengan Putra. Menjadi seorang mantan yang dibenci.
Kemudian dia harus kehilangan gadis itu, tidak ! Ini terlalu mengerikan ! Lebih baik dia berkorban sedikit saja. Dia tidak mau menjadi mantan sahabat sekaligus mantan pacar. Terlalu idiot kedengarannya !
Cinta cukup hadir dan ada maka semuanya sudah sangat cukup untuk Reza.
“Iya Za, thanks banget ya selama ini, kamu emang sahabat banget.”
Reza tersenyum lega. Sangat lega akhirnya bisa mendengar suara Cinta.
“Andai aku bisa punya cowok yang bisa ngertiin aku kayak kamu Za..”
******
Bandara Ngurah Rai, Juli 2005
“Kejar cita-cita kamu ya Cint, jaga diri baik-baik disana, inget makan, istirahat yang cukup, jangan lupa sempetin ngontact sahabat kamu ini ! Dan kalau kecantol bule, pilih-pilih bulenya jangan asal comot aja !” Reza mengacak rambut Cinta, kemudian mereka tertawa bersama.
Setelah kelulusan, Cinta memutuskan kuliah di Jepang, Reza juga sudah mengetahui cita-cita gadis itu untuk bisa kuliah disana. Meski berat, ia tahu saat melepas gadis itu akan tiba. Reza masih menyimpannya dengan sangat baik. Tertawa, meledek, menjahili, seperti biasa. Laki-laki yang sudah beranjak dewasa itu tahu betapa semakin sesaknya rasa yang ia endapkan dan sudah berkarang di dalam hatinya. Seiring kedewasaannya lah Reza semakin terbiasa dengan rasa sakit dan perih yang saat ini sedang menohoknya. Selama ini yang paling penting ia bisa melihat gadis itu. Tapi kenyataan yang ada di depan matanya, hanya menunggu beberapa menit lagi ia tidak akan bisa melihat gadis itu entah berapa lamanya. Reza menghibur diri lagi, tidak bisa melihat wajahnya, mendengar suaranya dan mengetahui gadis itu baik-baik saja sudah lebih baik dari apapun. Iya menegakan wajahnya dan hatinya sesaat mendengar suara pemberitahuan agar penumpang dengan tujuan Jepang segera memasuki ruang keberangkatan.
“Masuk sana ! Ntar ketinggalan pesawat loh !” Reza mendorong tubuh Cinta dan berusaha tertawa.
Cinta menarik napasnya, “Za, nggak ada yang pengen kamu omongin ?” dia menatap Reza dalam-dalam berusaha mencari sesuatu tapi sia-sia yang dicarinya tetap tidak terlihat disana.
“Oh iya ada !” serunya dengan mata membulat.
Cinta menunggu,”Apa ?” ucapnya dengan suara terbata dan tidak sabar.
Reza maju mendekat, “Boleh aku peluk kamu Cint ?”
Tanpa pikit panjang Cinta berhambur dan melingkarkan tangannya di leher Reza. Tetesan bening itu terus keluar membasahi kaos bagian pundak Reza.
Satu menit berlalu, Reza melepaskan tubuhnya dan menghela napasnya panjang.
“Udah dibilang jangan nangis ! Jelek tahu kalo nangis !” ucapnya dengan nada mengeluh yang terdengar pura-pura kesal. Reza terkekeh pelan dan menyentil hidung Cinta pelan.
Cinta berbalik dan terus berjalan. Yang diharapkannya tidak terjadi dan dia berhenti berharap. Mungkin anggapannya selama ini salah. Tidak pernah seperti yang diimajinasikannya. Cinta menghilang dan hati Reza serasa disentakan separuhnya. Ada kosong yang menganga disana.
“Kalau tiba saatnya, dan kalau Tuhan mengizinkan.. Suatu saat nanti.”
******
Bandung, Juli 2012
“Reza..”
Reza menghentikan aktivitasnya, jarinya mengambang di udara lengkap dengan pena yang seharusnya digoreskan keatas kertas putih diatas mejanya itu. Sistem kerja tubuhnya mendadak lumpuh ketika telinganya mendengar suara itu. Sudah lima tahun berlalu, ia jelas masih mengingat siapa pemilik suara itu. Hanya saja masih terlalu ragu untuk memastikan bahwa hal itu bukan halusinasinya saja. Reza memejamkan matanya berusaha mengembalikan fokusnya.
“Za..” suara itu kembali terdengar, kali ini dengan suara yang jelas.
Reza terperanjat saat menyaksikan sosok itu berdiri di depan meja kerjanya.
Dia mengerjap seolah masih tidak percaya dengan penglihatannya. “C…cin..cinta ?”
Gadis itu tersenyum, “Hai.. apa kabar ?”
Reza tanpa pikir panjang memutari mejanya dan menarik gadis itu ke dalam pelukannya masih memastikan bahwa ia benar-benar tidak bermimpi.
“Aku pulang Za..” bisik Cinta lirih di telinga Reza. Ntah sejak kapan air matanya sudah membasahi jas milik Reza.
Reza membiarkan posisi itu selama beberapa saat. Merasakan kehangatan dan kelegaan menyusupi rongga dadanya. Ia tahu bahwa sekarang semuanya sudah terasa benar dan utuh.
Reza melepaskan pelukannya, dia mematut wajah sahabatnya itu, ada senyuman di bibir Reza. “Kamu sehat.. aku seneng banget lihatnya.” Ucapnya tulus.
“Hei gimana ada bule yang buat kamu naksir nggak ?” Reza mengajak Cinta duduk di sofa yang terletak di sudut ruang kerjanya.
Cinta mendecak dan memukul pelan kepala Reza, “Masih aja suka nggodain aku ya ! Udah gede kita Za, dasar !” ia tertawa.
Reza berdehem, ia mungkin tidak tahu apa ini saat yang tepat atau bukan. Tapi jauh dalam hatinya dia sudah berjanji pada dirinya sendiri. “Udah gede ya kita ? Cint. Aku nggak tahu ini saat yang tepat atau bukan, tapi aku udah janji sama diri aku sendiri jika Tuhan ngizinin, untuk yang pertama dan aku harap bisa jadi yang terakhir dalam hidup aku ngucapin kata ini ke cewek.” Pelan, Reza menghela napasnya. “Aku sayang kamu Cint, lebih dari sahabat.. Kamu mau jadi….?”
“Pacar ?” Cinta menyela, dia tidak bisa menutupi gemuruh dalam dadanya yang terasa nyaris meldak.
Reza terkekeh, dia menggeleng, “Bukan, emang kamu kira kita masih ABG lagi apa !”
“Terus ?”
“Jadi temen tua aku.. Ngabisin sisa umur kita dalam satu atap, jadi pemilik masa depan aku.. satu-satunya perempuan yang bakalan aku lihat saat aku buka mata di pagi hari, dan jadi yang terakhir saat malem menjelma.. jadi ibu anak-anak aku, jadi sahabat dan pacar yang nggak pernah ada kata mantan.”
Cinta tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak punya alasan untuk menolak dan berkata tidak. Ia tahu satu hal, hanya laki-laki seperti Reza Pratama lah yang ingin ia serahi masa depannya, menjadi satu-satunya laki-laki yang akan ditatapnya sepanjang hidupnya. Pelan cinta mengangguk.
Reza memeluk Cinta, gadis itu membenamkan wajahnya di pundaknya, tempat paling nyaman yang baru ia sadari itu ternyata selama ini sangat dekat. Cinta berbisik lirih tepat di telinga Reza, “Persahabatan kita itu segalanya Za, dan cinta.. ini adalah hadiah paling indah dari Tuhan.”
-Selesai-