Menyayangi Bukan Dari Penyesalan

“Dek, tolong yang sebelah kiri ditarik lagi. Itu masih miring!” suara perempuan bernada tegas dan agak aneh karena pilek terdengar di depan kampus pagi ini. Aku yang baru saja memarkir motor segera menghampiri ke tempat perempuan itu.
“Aduh, Ndra! Kelewatan yah kamu! Ini jam berapa baru dateng? Anak buahmu aja udah pada dateng masak koornya telat??”

Ya, perempuan berparas cantik itu tengah memamerkan mimik kesal padaku, si koor perlengkapan, yang datang terlambat di pagi ini. Jelas saja dia uring- uringan. Hari ini kampus kami akan mengadakan sebuah even yang cukup besar dan bergengsi seantero Indonesia.
Ketuanya ya si perempuan cantik yang sedang ngambek itu. Namanya Ira, dia bukan anak BEM tapi menjadi ketua even besar ini. Aku hanya menjadi koor perlengkapan. Setelah kami selesai memasang spanduk sambutan selamat datang di depan kampus, kami bergegas masuk ke dalam aula tempat acara akan dilaksanakan.

Ira nampak mondar- mandir ke sana kemari, dia sibuk membantu anak lain di tiap tempat. Seperti misalnya menata absen, menyiapkan konsumsi, mengecek rundown acara dan lainnya. Ira anaknya cantik, tetapi dia tidak terlalu tinggi, cerdas, tegas dan tidak cengeng. Yah, setidaknya begitulah kesan yang kudapat selama dua tahun kenal dengannya. Dia tidak suka duduk dalam waktu lama, dia tidak suka kalau didebat, keras kepala, ceria, suka humor, dan memiliki kepedulian tinggi.

Dulu aku satu kelompok ospek dengannya, tapi dulu dia tidak begini. Dia cenderung lebih diam. Tetapi, sejak semester dua, sikapnya banyak berubah. Dulu yang kerjanya kupu- kupu (kuliah- pulang), kini dia aktif berorganisasi. Beberapa bulan lalu, dia sudah memenangkan lomba debat tingkat fakultas, universitas dan kota. Even yang ditanganinya relatif sukses dan membawa nama baik.

Tapi, sampai saat ini, aku masih belum tahu seluk beluk kehidupan Ira. Yang aku tahu dia seorang anak tunggal, ayahnya seorang jenderal tentara, rumahnya kira- kira berjaraktempuh 45 menit dari sini. Pernah punya pacar, tapi tidak ada seorang mahasiswa di fakultas ini yang pernah melihat Ira membawanya ke kampus.

Ira memang mudah bergaul, dia supel dan orangnya ramah. Tetapi, tidak banyak anak perempuan yang bertahan menjadi sahabatnya. Tiga perempuan yang dulu selalu bersamanya, kini pergi meninggalkannya. Sepertinya, mereka tidak cocok dengan sifat Ira yang cenderung naif dan ceplas- ceplos.

Padahal, selama aku berteman dengan Ira, aku sama sekali tidak merasa kalau Ira menyebalkan. Justru, dia banyak membantuku. Ketika kami sama- sama pulang rapat malam, dan besok ada tugas besar. Aku masih belum selesai dan dia sudah selesai, dia pasti menawariku bantuan untuk menyelesaikan tugas. Aku yang hanya anak rantau di kota ini terus terang saja merasa terbantu.

“Indra. Aku minta tolong, di depan sudah ada beberapa peserta, tolong sama yang lain stand by di lobi ya. Arahkan mereka supaya jangan nyasar. Thanks.” Sesusai meminta tolong dia berlalu dengan senyuman. Fuuh… Sempat juga dia mengulas senyum manis seperti itu.

Padahal aku tahu dia pasti lelah sekali karena sibuk mondar- mandir ke sana- kemari.
Pagi ini, sebuah acara kuliah umum yang bertema tentang enterpreneurship, akan dibawakan oleh Profesor Bambang. Beliau adalah guru besar yang sudah diakui kepiawaiannya dalam bidang manajemen dan bisnis. Setiap kampus mengidam- idamkan mengundang beliau untuk memberikan kuliah tamu. Selain itu, beliau juga memiliki suatu perusahaan konsultan yang sudah beranak pinak di berbagai provinsi di Indonesia. Peserta acara kali ini tidak hanya berasal dari kampusku saja, tapi dari berbagai kampus di Jawa Timur, swasta dan negeri. Pesertanya mencapai 657 orang!

“Mbak Ira!!” Seorang adik kelas memanggil Ira yang saat itu tengah mengecek daftar peserta. “Ada apa, dek?” Ira dengan sigap menjawab.
“Aduh, mbak. Prof Bambang bakal dateng telat! Gimana ini??”
“Telat berapa lama?”
“emh, beliau bilang sekitar habis Duhur baru datang, mbak! Gimana ini???”
“Sungguh? Mana teleponnya? Biar aku yang telepon beliau!” Ira langsung menyaut HP anak itu dan menelpon.
Aku jadi ikutan was- was. Ira, kalau sudah emosi bisa sangat menyeramkan. Mukanya sudah pucat ketika sedang menelpon Prof Bambang. Setelah telepon diputus, wajahnya kembali sumringah.
“Nggak apa, dek. Satu jam lagi, anak buah Prof Bambang ke sini buat nggantiin beliau sementara. Prof bambang dateng 2 jam setelahnya. Masih bisa kok. Nggak sampai Duhur.” Ira justru menenangkan adek kelas yang tadi sudah gemetar ketakutan.
“Kamu, silakan hubungi nomer ini ya. Aku mau bantu panitia di bagian perlengkapan dulu.”
“Iya mbak! Makasih banyaaak!” Anak itu segera berlalu. Kemudian Ira menghampiriku.
“Gimana pak koor? All is well?” Tanyanya sambil bersandar di dinding dekatku. Aku hanya membalas anggukan.
“Kamu super banget, ra.”
“Apanya, ndra?”
“Nggak kayak cewek lain! Kamu hebat banget nanganin semua ini. Padahal dulu kamu nggak kayak gini lo.”
“Oh ya? Jangan bandingin aku sama cewek lain dong. aku ya aku. Aku punya waktu yang berbeda dari mereka semua, termasuk dengan kamu, ndra. Aku nggak mau waktuku yang singkat Cuma aku habisin di kasur.” Ira berlalu setelah berkata seperti itu.
***
Akhirnya, si pembicara yang akan menggantikan Prof Bambang sementara waktu sudah tiba. Ira diminta untuk menemuinya sebentar saja. Aku yang saat itu ada di dekat ruang tunggu pengisi acara menyaksikan suatu keganjilan.
Ira yang baru saja tiba ke ruangan, lalu menatap pria necis yang duduk di dalam ruangan itu, mendadak putar balik. Dia langsung berlari keluar dan merenung di dekatku.
“Ra, ada apa?”
“Nggak apa. Tolong deh, kamu urus itu pembicaranya.” Ira berlari entah ke mana. “Ra! Ira!!” meski kupanggil dia tidak kembali. Mungkin dia mau ke toilet untuk membuang dahak atau ingus di hidungnya. Dia kan hari ini sedang pilek.
“Eh, mas! Boleh tanya?” Ternyata si pembicara itu keluar dari ruangan. “Iya, boleh.” Jawabku. “Itu tadi Ira ya?” Tanyanya.
“Oh, iya. Dia Ira mas, ketua acara ini. Apa perlu saya panggilkan?”
“Emh.. Nanti sajalah. Sepertinya dia tidak mau bertemu dengan saya saat ini.” Jawab pria necis itu. Aku semakin tidak mengerti. Siapa pria ini dan apa hubungannya dengan Ira?
Setelah acara berjalan, dan Ira tidak juga muncul, aku mulai mencarinya ke seantero kampus. Dan akhirnya langkahku membuahkan hasil ketika melintas di depan gedung baca. Ira sedang duduk sendirian di lorong depan Gedung Baca. Dia terpekur dan entah apa yang sedang direnungkannya.
“Ngapain sih? Nanti kesambet loh di sini sendirian!” Ucapku. Dia mengangkat wajahnya sambil mengernyitkan dahi.
“Oh, kamu toh ndra. Hehe.. Iya, lagi istirahat nih.”
“Istirahat?” tanyaku sambil mendekatinya. “Aku boleh duduk?” Tanyaku. Dia mengangguk sambil agak bergeser.
“Nilaimu gimana, ra? Bagus- bagus nggak semester ini?”
“Iya, Alhamdulillah, ndra. Kamu?”
“Sujud sukur deh aku, ra. Aku beruntung banget bisa berteman sama kamu! Ujian dibantuin, tugas ditolongin. Kurang baik apa coba kamu! Hahahaha!” kataku.
“Iya. Syukur deh, ndra kalo bisa bikin kamu seneng. Aku ikutan seneng kok. Lagian, selama ini aku juga berusaha membuat orang lain seneng.”
“Oya? Mulia banget ati kamu, ra?” Ira hanya membalas senyuman. “Di waktu yang singkat gini, apa sih yang bisa aku lakuin selain menyenangkan orang yang sudah banyak membantu aku? Aku nggak bisa ngasih apa- apa selain itu, ndra.”
“Ira, omonganmu kelewat serem tauk! Udah sarapan belum?” aku bertanya begitu karena kulihat bibir Ira memucat.
“Emh.. Akhir- akhir ini aku nggak nafsu makan, ndra. Kalo kamu mau sarapan dulu nggak apa kok. Aku balik dulu yah.”
Ira berdiri dengan agak kaku dari bangku ini. Kemudian dia seperti menarik nafas panjang, badannya agak membungkuk ketika dia berjalan. Belum sampai langkah kelima, dia sudah ambruk.
“Masya Allah!!! Ira!” Aku berlari dan menyaut badannya. Nafasnya menderu dengan cepat dan pendek. Sesekali terdengar suara mendecit. Aku langsung menyusupkan tangan ke belakang punggungnya, dan mengangkat badannya.
Aku berlari secepatnya ke gedung utama agar Ira bisa mendapat pertolongan.
“Hey! Siapa aja! Tolong cari dokter! Ira pingsan!!!” Teriakku. Semua panitia yang ada panik. Untunglah, ada dokter yang ditugaskan dalam acara kali ini.
Ira kubaringkan perlahan di atas matras. Wajahnya sudah memucat, matanya terpejam, sepertinya menahan sakit. Nafasnya masih saja menderu seperti itu. Di lengannya, ada bekas seperti lebam. Padahal tadi ketika kuangkat tidak ada!! Apakah tanganku sudah melukainya???
Dokter dengan sigap memeriksa keadaan Ira. Menempelkan stetoskop, membuka kelopak mata Ira, mengecek bercak- bercak merah yang mulai timbul di kulitnya. Dan akhirnya, dokter itu menoleh ke arahku.
“Panggilkan Ambulance. Tidak mungkin ditangani di sini.”

***

“Dia terkena leukimia akut, tipe LLA. Sepertinya sudah setahun dia terkena penyakit ini. Apakah Bapak dan Ibu tidak menyadarinya?”
Kedua orang tua Ira hanya terdiam sambil menahan air mata di pelupuk mata. Aku juga hanya bisa terdiam di lorong ICU. Setelah itu, kedua orang tua Ira pergi bersama si dokter. Aku hanya tinggal sendirian. Kuberanikan diriku masuk ke ICU untuk menengok Ira sejenak, setelah itu aku pulang. Di balik jendela itu, aku bisa melihat Ira terbaring.

Rasanya aku tidak bisa percaya, dia terkena leukimia akut, dan selama ini dia diam saja!?? Bodoh dan naif sekali dia!

Ira nampak membuka matanya, berkedip beberapa kali dengan lemahnya. Lalu mulai melirik aku yang ada di balik kaca ini. Tangannya bergerak pelan, seolah memintaku masuk ke dalam ICU. Kuturuti sajalah, aku tidak tega melihatnya tergeletak di sana sendirian.

“Ndra..”

“Sst! Berisik!” kataku. Dia membalas senyum. “Tolong, liat di saku jaket aku. Ambil amplop di situ, kamu baca dan kamu kasih ke pembicara yang tadi gantiin Prof Bambang. Sekarang juga..”

“Hah? Serius, ra?” Tanyaku. Dan dia hanya membalas anggukan yang sangat lemah. “Pergi sekarang. Tolong..” katanya semakin lirih.

Aku kembali berdiri di sampingnya. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian di sini. Aku sadar, ternyata selama dua tahun ini aku benar- benar jatuh hati padanya. Dia yang selalu bersemangat, terlalu naif, tidak manja, terlihat banyak teman tapi ternyata kesepian…

“Indra… Tolong. Nggak pake nangis..” tangannya meraih tanganku. “Aku nggak pantes kamu tangisin. Aku nggak punya waktu banyak buat liat orang yang aku sayang sedih. Aku mau sebelum waktuku habis liat semuanya baik- baik saja…”

Aku tahu, dia bisa melihat mataku yang memerah karena ditusuk air mata. Aku menarik nafas, sambil ganti menggenggam tangannya dengan sangat erat.
“Aku sayang banget sama kamu, ra. Sembuh, ya. Demi aku!” dengan lembut kukecup keningnya. Ira hanya memejamkan mata, sambil mengulas senyum yang sangat manis.

***

Dengan agak tidak sabar kubuka surat dalam amplop milik Ira itu::

“Hai, siapa saja yang buka surat ini. Tolong berikan surat ini kepada Alex Soetanto. Dia anak buah Profesor DR Dr Bambang Wijaya (guru besar itu lho).
Aku bawa surat ini mulai tanggal 4 Desember 2010. Karena, sejak 2 bulan lalu, aku divonis terkena leukimia tipe LLA. Aku juga nggak tahu tentang penyakit itu. Sampai beberapa waktu lalu aku merasakan gejala yang lumayan aneh. Dan ketika ke dokter, aku dinyatakan terkena leukimia. Kenapa aku nggak ngomong ke orang rumahku?
Ketika aku sakit, aku berkata mungkin saja aku terkena gejala leukimia. Mereka langsung menolak dan mengatakan kalau aku mendramatisir. Baiklah, setidaknya aku bisa menangkap maksud mereka kalau aku TIDAK boleh sakit seperti ini. Baiklah, aku kabulkan permintaan mereka.
Meski sudah positif terkena penyakit ini, aku harus tetap optimis. Aku masih ingin melakukan banyak hal sebelum waktuku habis. Termasuk dengan Alex, maaf sudah menyakiti kamu lex. Aku terpaksa meninggalkan kamu supaya kamu nggak sedih waktu lihat aku pergi.
Aku juga nggak bilang ke temen- temen. Soalnya aku mau ngabisin waktuku di antara mereka seperti biasanya. Kalau mereka tahu aku sakit, mereka pasti akan berbuat yang ‘baik- baik’ saja. Dan itu menyebalkan.
Nah, untuk yang sudah baca suratku ini. Tolong sampaikan salamku untuk:
1. Ayah dan Ibu: Jangan terlalu menyepelekan apa yang dikatakan anak. Orang tua lebih banyak pengalaman, dan anak hanyalah anak. Tapi di antara kita tidak ada yang paling benar atau yang paling salah. Maaf, sudah merepotkan kalian selama 20 tahun ini. Akhirnya, kalian bebas dari beban selama ini =)
2. Alex Soetanto: Tenang, banyak cewek cantik yang single menunggumu. Aku selalu berdoa untuk kamu,lex ❤ 3. Indra Saputra Utama: Makasi Ndra udah banyak nemenin aku selama dua tahun ini. Rasanya kayak punya kakak cowok. Hehehe. Aku sayang Mas Indra. Maafkan semua kesalahanku ya. Titip salam buat semuanya. Aku sayang kalian selamanya!!!" *** Kami semua berdiri di pemakaman Ira. Hari ini, aku belajar suatu hal yang sangat PENTING untuk hidupku. Kutatap semua yang datang ke pemakaman sore ini satu per satu. Kedua orang tua Ira, mereka terlalu keras mendidik Ira, sampai- sampai mereka sendiri tidak menyadari bahwa putri tunggal mereka tengah berjuang melawan leukimia ganas. Mereka juga tidak pernah merestui hubungan Ira dengan Alex. Sehingga mereka tidak pernah melihat wajah putri kesayangan mereka benar- benar bahagia. Kejadian penolakan Alex itu terjadi ketika Ira baru saja masuk kuliah. Saat itu Ira benar- benar berubah sikap kepada orang tuanya. Sedangkan ketiga teman dekat Ira kini hanya bisa menampakkan wajah sembab. Mereka tidak pernah benar- benar menghargai Ira sampai Ira masuk ke dalam liang lahat dan tidak akan kembali lagi. Mereka berkata padaku kalau mereka menyesal tidak pernah meminta maaf pada Ira sekalipun. Alex. Pria necis yang nampak tegar di pemakaman sore ini. Dia memakai kacamata hitam dan berdiri mematung agak di belakang. Kemudian dia merangkul perempuan yang berdiri di sebelahnya. Itulah kekasih barunya. Indra, seorang cowok bodoh yang selama ini selalu menyembunyikan perasaannya. Tidak pernah mengungkapkan perasaan pada targetnya sampai sang target kini telah tiada. Hanya tersisa kebodohan, penyesalan dan air mata yang mengering di sudut mata. Hanya bisa mengungkapkan kata perpisahan untuk Ira. Si cantik yang tegar. (66.Hvns)

Leave a comment